Oleh: Ahmad Fadloli
Gerakan
Literasi Sekolah (GLS) yang dikembangkan berdasarkan Permendikbud nomor 23
tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti mempunyai tujuan Umum: Menumbuhkembangkan budi pekerti peserta
didik melalui pembudayaan ekosistem literasi sekolah yang diwujudkan dalam
Gerakan Literasi Sekolah agar mereka menjadi pembelajar sepanjang hayat. Serta
mempunyai tujuan Khusus: (a) Menumbuhkembangkan budaya literasi di sekolah; (b)
Meningkatkan kapasitas warga dan lingkungan sekolah agar literat; (c) Menjadikan
sekolah sebagai taman belajar yang menyenangkan dan ramah anak agar warga sekolah
mampu mengelola pengetahuan;(d) Menjaga keberlanjutan pembelajaran dengan
menghadirkan beragam buku bacaan dan mewadahi berbagai strategi membaca (Panduan
Gerakan Literasi Sekolah di Sekolah Menengah Pertama, hal.2 tahun 2016)
Sudah hampir satu tahun setelah
dikeluakan permendikbud tentang Gerakan Literasi Sekolah (GLS) gaungnya sudah
kurang terdengar lagi. Diawal peluncuran
program tersebut, sebagian besar sekolah melakasanakan kegiatan GLS dengan cara
lima belas menit sebelum masuk belajar siswa melakukan kegiatan menbaca buku
selaian buku pelajaran dengan dibimbing oleh guru yang mengajar pada jam
pertama. Pada pelaksanaannya, setiap
sekolah mempunyai metode dan teknik yang
berbeda-beda. Hal tersebut dilakukan agar siswa melaksanakan GLS dengan
gembira, tidak jenuh tetapi intinya sama yaitu melaksanakan pembiasaan
membaca lima belas menit sebelum belajar.
Bahkan lebih dari itu, untuk
mendorong terlaksananya program GLS, pemerintah daerah memberikan bantuan dan
pendampingan kepada beberapa sekolah. Pendampingan diberikan terkait dengan
cara melaksanakan GLS, pemantauan, sampai unjuk kabisa mealui kegiatan pameran literasi. Sedangkan
bantuan diberikan berupa anggaran dan buku-buku bacaan.
Sekarang timbul pertanyaan: Setelah
bantuan berakhir, Apakah sekolah-sekolah tersebut masih tetap konsisten
melaksanakan GLS? Bagaimana dengan sekolah yang tidak mendapatkan bantuan GLS,
Apakah masih juga konsisten melaksanaan GLS?
Penjelasan ini hanya pandangan
pribadi saya. Setelah saya melihat dan mengamati di beberapa sekolah baik yang
sudah mendapatkan pendampingan maupn sekolah yang belum mendapatkan
pendampingan pelaksanaan GLS, hampir sama saja, bahkan mungkin ada
sekolah-sekolah yang belum mendapatkan pendampingan tetap konsisten
melaksanakan GLS.
Oleh karena itu yang perlu
dipahami adalah bantuan yang diberikan adalah merupakan stimulus sehingga harapannya
adalah setelah bantuan dan pendampngan berakhir kegiatan tersebut sudah dapat
berlangsung sendiri serta tetap dipertahankan sesuai dengan pendampingan yang
sudah di berikan dan tentunya harapannya lebihnya adalah bisa berinovasi serta kreatifitas
sendiri sesuai dengan kondisi yang ada.
Siapa yang seharusnya
bertanggungjawab terhadap tetap terlaksananya GLS di sekolah? Tentu yang
bertanggung jawab adalah kepala sekolah.
Kepala sekolah sebagai sosok yang diberikan tugas dan wewenang memimpin sekolah
seyogyanya tetap berusaha agar kegiatan yag sudah ada tetap berlangsung. Jika
tidak, maka nasib GLS sama dengan nasib program-program lain yang gencar pada
saat ada pendampingan dan bantuan atau nasibnya sama dengan iklan” teh botol
sosro” yaitu apapun makanannya minumnya tetap teh botol sosro.
Tentu tidak semudah yang
dipikirkan, tidak semudah yang dituliskan karena kepala sekolah tidak bisa
bekerja sendiri, diperlukan kesadaran dari seluruh komponen yang ada di sekolah
untuk dapat memahami setiap program dan
diperlukan kesadaran untuk turut andil
dalam mensukseskan setiap program yang diluncurkan oleh sekolah termasuk
program GLS ini. Oleh karena itu kunci sukses setiap program adalah “ Komitmen
dan Konsistensi” dari semua pemangku kepentingan yang ada. Semoga
*Gus_Ndol.050417*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar