.

Selasa, 04 April 2017

NASIB GERAKAN LITERASI SEKOLAH


Oleh: Ahmad Fadloli

Gerakan Literasi Sekolah (GLS) yang dikembangkan berdasarkan Permendikbud nomor 23 tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti mempunyai tujuan Umum: Menumbuhkembangkan budi pekerti peserta didik melalui pembudayaan ekosistem literasi sekolah yang diwujudkan dalam Gerakan Literasi Sekolah agar mereka menjadi pembelajar sepanjang hayat. Serta mempunyai tujuan Khusus: (a) Menumbuhkembangkan budaya literasi di sekolah; (b) Meningkatkan kapasitas warga dan lingkungan sekolah agar literat; (c) Menjadikan sekolah sebagai taman belajar yang menyenangkan dan ramah anak agar warga sekolah mampu mengelola pengetahuan;(d) Menjaga keberlanjutan pembelajaran dengan menghadirkan beragam buku bacaan dan mewadahi berbagai strategi membaca (Panduan Gerakan Literasi Sekolah di Sekolah Menengah Pertama, hal.2 tahun 2016)

Sudah hampir satu tahun setelah dikeluakan permendikbud tentang Gerakan Literasi Sekolah (GLS) gaungnya sudah kurang  terdengar lagi. Diawal peluncuran program tersebut, sebagian besar sekolah melakasanakan kegiatan GLS dengan cara lima belas menit sebelum masuk belajar siswa melakukan kegiatan menbaca buku selaian buku pelajaran dengan dibimbing oleh guru yang mengajar pada jam pertama.  Pada pelaksanaannya, setiap sekolah mempunyai metode dan teknik  yang berbeda-beda. Hal tersebut dilakukan agar siswa melaksanakan GLS dengan gembira, tidak jenuh   tetapi intinya sama yaitu melaksanakan pembiasaan membaca lima belas menit sebelum belajar.

Bahkan lebih dari itu, untuk mendorong terlaksananya program GLS, pemerintah daerah memberikan bantuan dan pendampingan kepada beberapa sekolah. Pendampingan diberikan terkait dengan cara melaksanakan GLS, pemantauan, sampai unjuk kabisa  mealui kegiatan pameran literasi. Sedangkan bantuan diberikan berupa anggaran dan buku-buku bacaan.

Sekarang timbul pertanyaan: Setelah bantuan berakhir, Apakah sekolah-sekolah tersebut masih tetap konsisten melaksanakan GLS? Bagaimana dengan sekolah yang tidak mendapatkan bantuan GLS, Apakah masih juga konsisten melaksanaan GLS?

Penjelasan ini hanya pandangan pribadi saya. Setelah saya melihat dan mengamati di beberapa sekolah baik yang sudah mendapatkan pendampingan maupn sekolah yang belum mendapatkan pendampingan pelaksanaan GLS, hampir sama saja, bahkan mungkin ada sekolah-sekolah yang belum mendapatkan pendampingan tetap konsisten melaksanakan GLS.

Oleh karena itu yang perlu dipahami adalah bantuan yang diberikan adalah merupakan stimulus sehingga harapannya adalah setelah bantuan dan pendampngan berakhir kegiatan tersebut sudah dapat berlangsung sendiri serta tetap dipertahankan sesuai dengan pendampingan yang sudah di berikan dan tentunya harapannya lebihnya  adalah bisa berinovasi serta kreatifitas sendiri sesuai dengan kondisi yang ada.

Siapa yang seharusnya bertanggungjawab terhadap tetap terlaksananya GLS di sekolah? Tentu yang bertanggung  jawab adalah kepala sekolah. Kepala sekolah sebagai sosok yang diberikan tugas dan wewenang memimpin sekolah seyogyanya tetap berusaha agar kegiatan yag sudah ada tetap berlangsung. Jika tidak, maka nasib GLS sama dengan nasib program-program lain yang gencar pada saat ada pendampingan dan bantuan atau nasibnya sama dengan iklan” teh botol sosro” yaitu apapun makanannya minumnya tetap teh botol sosro.

Tentu tidak semudah yang dipikirkan, tidak semudah yang dituliskan karena kepala sekolah tidak bisa bekerja sendiri, diperlukan kesadaran dari seluruh komponen yang ada di sekolah untuk  dapat memahami setiap program dan diperlukan  kesadaran untuk turut andil dalam mensukseskan setiap program yang diluncurkan oleh sekolah termasuk program GLS ini. Oleh karena itu kunci sukses setiap program adalah “ Komitmen dan Konsistensi” dari semua pemangku kepentingan yang ada. Semoga *Gus_Ndol.050417*





Tidak ada komentar:

Posting Komentar